1.
Pengertian Cyber Law
CyberLaw adalah aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang
berhubungan dengan orang atau subjek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi
internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau
maya. CyberLaw sendiri merupakan istilah yang berasal dari Cyberspace Law.
Secara akademis, terminologi ”cyber law” tampaknya
belum menjadi terminologi yang sepenuhnya dapat diterima. Hal ini terbukti
dengan dipakainya terminologi lain untuk tujuan yang sama seperti The law of
the Inlernet, Law and the Information Superhighway, Information Technology Law,
The Law of Information, dan sebagainya.
2. Ruang
Lingkup Cyber Law
Pembahasan
mengenai ruang lingkup ”cyber law” dimaksudkan sebagai inventarisasi atas
persoalan-persoalan atau aspek-aspek hukum yang diperkirakan berkaitan dengan
pemanfaatan Internet. Secara garis besar ruang lingkup ”cyber law” ini
berkaitan dengan persoalan-persoalan atau ’ aspek hukum dari E-Commerce, Trademark/Domain
Names, Privacy and Secu rity on the Internet, Copyright, Defamation, Content
Regulation, Disptle Settlement, dan sebagainya.
Menurut Jonathan
Rosenoer dalam Cyber Law – The Law Of Internet menyebutkan ruang lingkup cyber
law :
1. Hak Cipta (Copy Right)
2. Hak Merk (Trademark)
3. Pencemaran nama baik (Defamation)
4. Fitnah, Penistaan, Penghinaan (Hate
Speech)
5. Serangan
terhadap fasilitas komputer (Hacking, Viruses, Illegal Access)
6. Pengaturan sumber daya internet
seperti IP-Address, domain name
7. Kenyamanan Individu (Privacy)
8. Prinsip kehati-hatian (Duty care)
9. Tindakan
kriminal biasa yang menggunakan TI sebagai alat Isu prosedural seperti
yuridiksi, pembuktian, penyelidikan dan
lain-lain.
10. Kontrak / transaksi elektronik dan
tanda tangan digital
11. Perangkat Hukum Cyber Law
12. Pornografi
13. Pencurian melalui Internet
14. Perlindungan Konsumen.
15. Pemanfaatan internet dalam aktivitas keseharian seperti
e-commerce, e-government, e-education
3. Perangkat Cyberlaw
Pembentukan Cyberlaw tidak lepas dari sinergi
pembuat kebijakan cyberlaw (pemerintah) dan pengguna dunia cyber dalam kaidah
memenuhi etika dan kesepakatan bersama. Agar pembentukan perangkat perundangan tentang teknologi informasi mampu
mengarahkan segala aktivitas dan transaksi didunia cyber sesuai dengan standar
etik dan hukum yang disepakati maka proses pembuatannya diupayakan dengan cara
Menetapkan prinsip – prinsip dan pengembangan teknologi informasi yaitu antara
lain :
1. Melibatkan
unsur yang terkait (pemerintah, swasta, profesional).
2. Menggunakan
pendekatan moderat untuk mensintesiskan prinsip
3. Memperhatikan keunikan
dari dunia maya
4. Mendorong
adanya kerjasama internasional mengingat sifat internet yang global
5. Menempatkan sektor swasta sebagai leader dalam persoalan
yang menyangkut industri dan perdagangan.
6. Pemerintah harus mengambil peran dan tanggung jawab yang
jelas untuk persoalan yang menyangkut kepentingan publik
7. Aturan hukum yang akan dibentuk tidak bersifat restriktif
melainkan harus direktif dan futuristik
8. Melakukan pengkajian terhadap perundangan nasional yang
memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dengan munculnya persoalan hukum
akibat transaksi di internet seperti : UU hak cipta, UU merk, UU perlindungan
konsumen, UU Penyiaran dan Telekomunikasi, UU Perseroan Terbatas, UU Penanaman
Modal Asing, UU Perpajakan, Hukum Kontrak, Hukum Pidana dll.
Cyberlaw tidak akan
berhasil jika aspek yurisdiksi hukum
diabaikan. Karena pemetaan yang mengatur cyberspace menyangkut
juga hubungan antar kawasan, antar wilayah, dan antar negara,
sehingga penetapan yuridiksi yang jelas mutlak diperlukan. Ada tiga
yurisdiksi yang dapat diterapkan dalam dunia cyber :
diabaikan. Karena pemetaan yang mengatur cyberspace menyangkut
juga hubungan antar kawasan, antar wilayah, dan antar negara,
sehingga penetapan yuridiksi yang jelas mutlak diperlukan. Ada tiga
yurisdiksi yang dapat diterapkan dalam dunia cyber :
1. yurisdiksi legislatif di bidang pengaturan,
2. yurisdiksi
judicial, yakni kewenangan negara untuk mengadili atau menerapkan
kewenangan hukumnya,
kewenangan hukumnya,
3. yurisdiksi eksekutif untuk melaksanakan aturan yang
dibuatnya.
4. Kebijakan IT di Indonesia
Ada dua model yang diusulkan oleh Mieke untuk mengatur
kegiatan di cyber space, yaitu :
1.
Model ketentuan Payung (Umbrella Provisions),
Model ini dapat memuat materi pokok saja dengan memperhatikan semua kepentingan
(seperti pelaku usaha, konsumen, pemerintah dan pemegak hukum), Juga
keterkaitan hubungan dengan peraturan perundang – undangan.
2.
Model
Triangle Regulations sebagai upaya mengantisipasi pesatnya laju kegiatan di
cyber space. Upaya yang menitikberatkan permasalahan prioritas yaitu pengaturan
sehubungan transaksi online, pengaturan sehubungan privacy protection terhadap
pelaku bisnis dan konsumen, pengaturan sehubungan cyber crime yang memuat
yuridiksi dan kompetensi dari badan peradilan terhadap kasus cyber space.
Dalam moderinisasi hukum pidana, Mas Wigrantoro Roes
Setiyadi dalam seminar cyber crime 19 maret 2003 mengusulkan alternatif :
1. Menghapus pasal – pasal dalam UU terkait yang tidak
dipakai lagi
2.
Mengamandemen
KUHP
3. Menyisipkan hasil kajian dalam RUU yang ada
4. Membuat RUU sendiri misalnya RUU Teknologi Informasi
Upaya tersebut tampaknya telah dilakukan terbukti dengan
mulai disusunnya RUU KUHP yang baru (konsep tahun 2000).Di samping pembaharuan
KHUP di Indonesia juga telah ditawarkan alternatif menyusun RUU sendiri, antara
lain RUU yang disusun oleh tim dari pusat kajian cyber law UNPAD yang diberi
title RUU TI draft III yang saat ini telah disyahkan menjadi UUITE.
5. Perkembangan Cyberlaw di Indonesia
Inisiatif untuk membuat “cyberlaw” di Indonesia sudah
dimulai sebelum tahun 1999. Fokus utama waktu itu adalah pada “payung hukum”
yang generik dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini
dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan
peraturan lainnya. Karena sifatnya yang generik, diharapkan rancangan
undang-undang tersebut cepat diresmikan dan kita bisa maju ke yang lebih
spesifik. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana.
Namun ternyata dalam perjalanannya ada beberapa masukan
sehingga hal-hal lain pun masuk ke dalam rancangan “cyberlaw” Indonesia.
Beberapa hal yang mungkin masuk antara lain adalah hal-hal yang terkait dengan
kejahatan di dunia maya (cybercrime), penyalahgunaan penggunaan komputer,
hacking, membocorkan password, electronic banking, pemanfaatan
internet untuk pemerintahan (e-government) dan kesehatan, masalah HaKI,
penyalahgunaan nama domain, dan masalah privasi. Penambahan isi disebabkan
karena belum ada undang-undang lain yang mengatur hal ini di Indonesia sehingga
ada ide untuk memasukkan semuanya ke dalam satu rancangan. Nama dari RUU ini
pun berubah dari Pemanfaatan Teknologi
Informasi, ke Transaksi Elektronik, dan akhirnya menjadi
RUU Informasi dan Transaksi Elektronik. Di luar negeri umumnya materi ini
dipecah-pecah menjadi beberapa undang-undang.
Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyberlaw ini
yang terkait dengan teritori. Misalkan seorang cracker dari sebuah
negara Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Dapatkah
hukum kita menjangkau sang penyusup ini? Salah satu pendekatan yang diambil
adalah jika akibat dari aktivitas crackingnya terasa di Indonesia, maka
Indonesia berhak mengadili yang bersangkutan. Apakah kita akan mengejar cracker
ini ke luar negeri? Nampaknya hal ini akan sulit dilakukan mengingat
keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh kita. Yang dapat kita lakukan
adalah menangkap cracker ini jika dia mengunjungi Indonesia. Dengan kata
lain, dia kehilangan kesempatan / hak untuk mengunjungi sebuah tempat di dunia.
Pendekatan
ini dilakukan oleh Amerika Serikat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar